Humanisme
Demokrasi sosial |
---|
Humanisme adalah sebuah pemikiran filsafat yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal.[1] Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekuler mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekuler juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.
Beberapa humanis terkenal[sunting | sunting sumber]
- Abraham Maslow
- Albert Einstein
- Bertrand Russell
- Carl Rogers
- Carl Sagan
- Cicero
- David A. Kolb
- Edward Said
- Erasmus
- Erich Fromm
- Francesco Petrarca
- Gene Roddenberry
- Giovanni Battista Vico
- Hans-Georg Gadamer
- Dr. Henry Morgentaler
- Isaac Asimov
- Israel Shahak
- Jacob Bronowski
- Jean-Paul Sartre
- Johann Reuchlin
- John Dewey
- John Ralston Saul
- Julius Caesar Scaliger
- Kurt Vonnegut
- Linda Smith
- Michel de Montaigne
- Paul Kurtz
- Philipp Melanchthon
- Plato
- Protagoras
- Rabelais
- Richard Dawkins
- Robert Clark Young
- Roberto Weiss
- Socrates
- Thomas Paine
- Voltaire
- W.T. Harris
- Werner Jaeger
- Ranu Mulyana
Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme
Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.[1]
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.[2] Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.[2]
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.[3]. Banyak suatu negara yang tidak mematuhi peraturan tersebut
Daftar isi
Pokok-pokok Liberalisme[sunting | sunting sumber]
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).[2] Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
- Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.[2]Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.[2]
- Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, di mana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – di mana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)[2]
- Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)[2]
- Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi di mana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.[2]
- Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)[2]
- Negara hanyalah alat (The State is Instrument).[2] Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk
tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.[2] Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.[2]
- Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).[2] Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.[2]
Dua Masa Liberalisme[sunting | sunting sumber]
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan.[2] Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern.[2] Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16.[2] Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20.[2] Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada.[2] Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru.[2] Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.[2]
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.[2] Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi).[2] Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan.[2] Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.[4]
Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik[sunting | sunting sumber]
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature.[5] Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya.[5] Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda.[5] Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya.[5] Namun, manusia ingin hidup damai.[5] Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa).[5] Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’.[5] Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), di mana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.[5] Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme.[5] Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara.[5] Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.[5]
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar di mana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
Relevansi kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme[sunting | sunting sumber]
Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai Demokrasi dan Kapitalisme.
* Demokrasi dan Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktikkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif – yang bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.[6]
* Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual secara sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.[7]
Bacaan lebih lanjut tentang liberalisme[sunting | sunting sumber]
- Literatur oleh para pemikir yang ikut menyumbang bagi teori liberal didaftarkan dalam Sumbangan terhadap teori liberal.
- Bahasa Indonesia
- Bahasa Inggris
- The future of liberal revolution / Bruce Ackerman - New Haven: Yale University Press, 1992
- Left and Right: The Prospects for Liberty / Murray N. Rothbard, 1965
- Liberalism and Democracy / Norberto Bobbio - London: Verso, 1990 (Liberalismo e democrazia, 1988)
- Liberalism / John A. Hall - London: Paladin, 1988
- The Decline of Liberalism as an Ideology / John H. Hallowell - London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1946
- Beyond the Global Culture War/ Adam K. Webb- Routledge, 2006, about the origins of Liberalism and types of challenges to it in the present world
- Liberalism / Ludwig von Mises, 1927
- Bahasa Belanda
- Beleid voor een vrije samenleving / J.W. de Beus en Percy B. Lehning (red.) - Meppel: Boom, 1990
- Afscheid van de Verlichting: Liberalen in verwarring over eigen gedachtengoed / Hans Charmant en Percy Lehning - Amsterdam: Donner, 1989
- Liberalisme, een speurtocht naar de filosofische grondslagen / A.A.M. Kinneging e.a. - Den Haag: Teldersstichting, 1988
- De liberale speurtocht voortgezet / K. Groenveld, H.J. Lutke Schipholt & J.H.C. van Zanen - Den Haag: Teldersstichting, 1989
- Het menselijk liberalisme / Dirk Verhofstadt - Antwerpen: Houtekiet, 2002
- Bahasa Perancis
- Le libéralisme / Georges Burdeu - Paris: Seuil, 1979
- Bahasa Jerman
- Die Freiheit die wir meinen / Werner Becker - München: Piper, 1982
- Noch eine chance für die Liberalen / Karl-Hermann Flach - Frankfurt: Fischer, 1971
- Liberalismus / Lothar Gall - Königstein: Athenäum, 1985
Referensi[sunting | sunting sumber]
- ^ A: "'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum." - Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: "Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi."- Lord Acton
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981)
- ^ Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas."
- ^ Diksi ini didapat pada saat mengikuti acara perkuliahan mata kuliah Pemikiran Politik Barat, FISIP UI.
- ^ a b c d e f g h i j k Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri Barat. (Jakarta: Penerbit Mizan, 1998)
- ^ Mochtar Lubis (penyunting). Demokrasi Klasik dan Modern (terj. The Demokracy Reader : Classic and Modern Speeches, Essay, Poems, Declaration, and Document of Freedom and Human Right Worldwide oleh Diane Ravitch and Abigail Thernstrom (editor). (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1994)
- ^ Miriam Budiardjo (penyunting). Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Jakarta : PT Gramedia, 1984)
Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme
Komunisme
Artikel ini merupakan bagian dari seri mengenai: |
Komunisme |
---|
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: |
Komunisme (bahasa Latin: communis, bahasa Inggris: common, universal)[1][2] adalah ideologi yang berkenaan dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi yang tujuan utamanya terciptanya masyarakat komunis dengan aturan sosial ekonomi berdasarkan kepemilikan bersama alat produksi dan tidak adanya kelas sosial, uang,[3][4] dan negara.[5][6]
Daftar isi
Dasar ideologi[sunting | sunting sumber]
Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".
Dalam komunisme, perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar (lihat: The Holy Family [7]), namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro.
Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai komunis sebagai alat pengambil alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal pada individu. pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata, Komunisme memperkenalkan penggunaan sistem demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham liberalisme.
Komunis internasional[sunting | sunting sumber]
Komunis internasional sebagai teori ideologi mulai diterapkan setelah meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Laos. Komunis internasional adalah teori yang disebutkan oleh Karl Marx.
Maoisme[sunting | sunting sumber]
Ideologi komunisme di Tiongkok agak lain daripada dengan Marxisme-Leninisme yang diadopsi bekas Uni Soviet. Mao Zedong menyatukan berbagai filsafat kuno dari Tiongkok dengan Marxisme yang kemudian ia sebut sebagai Maoisme. Perbedaan mendasar dari komunisme Tiongkok dengan komunisme di negara lainnya adalah bahwa komunisme di Tiongkok lebih mementingkan peran petani daripada buruh. Ini disebabkan karena kondisi Tiongkok yang khusus di mana buruh dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kapitalisme.
Indonesia dan komunisme[sunting | sunting sumber]
Indonesia pernah menjadi salah satu kekuatan besar komunisme dunia. Kelahiran PKI pada tahun 1920-an adalah kelanjutan fase awal dominasi komunisme di negara tersebut, bahkan di Asia. Tokoh komunis nasional seperti Tan Malaka misalnya. Ia menjadi salah satu tokoh yang tak bisa dilupakan dalam perjuangan di berbagai negara seperti di Cina, Indonesia, Thailand, dan Filipina. Bukan seperti Vietnam yang mana perebutan kekuatan komunisme menjadi perang yang luar biasa. Di Indonesia, perubuhan komunisme juga terjadi dengan insiden berdarah dan dilanjutkan dengan pembantaian yang banyak menimbulkan korban jiwa. Tidak berakhir disana, para tersangka pengikut komunisme juga diganjar eks-tapol oleh pemerintahan Orde Baru dan mendapatkan pembatasan dalam melakukan ikhtiar hidup mereka.
Sejarah komunisme di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Era praperang kemerdekaan[sunting | sunting sumber]
Kelahiran Komunisme di Indonesia tak bisa dilepaskan dari hadirnya orang-orang buangan politik dari Belanda dan mahasiswa-mahasiswa lulusannya yang berpandangan kiri. Beberapa di antaranya adalah Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang masuk setelah Sarekat Islam (SI) Semarang sudah terbentuk.
Gerakan Komunis di Indonesia diawali di Surabaya, yakni di dalam diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya yang dikenal dengan nama VSTP. Awalnya VSTP hanya berisikan anggota orang Eropa dan Indo Eropa saja, namun setelah berkembangnya waktu, kaum pribumi juga banyak yang bergabung. Salah satu anggota yang menjadi besar adalah Semaoen kemudian menjadi ketua SI Semarang.
Komunisme kemudian juga aktif di Semarang, atau sering disebut dengan "Kota Merah" setelah menjadi basis PKI di era tersebut. Hadirnya ISDV dan masuknya para pribumi berhaluan kiri ke dalam Sarekat Islammenjadikan komunis sebagai bagian cabangnya, yang nantinya disebut sebagai "SI Merah". ISDV sendiri sering menjadi salah satu organisasi yang bertanggung jawab atas banyaknya pemogokan buruh di Jawa.
Konflik antara SI Semarang (SI Merah) dengan SI pusat di Yogyakarta (SI Putih) mendorong diselenggarakannya kongres. Atas usulan Haji Agus Salim, yang disahkan oleh pusat SI, baik SI Merah maupun SI Putih menyepakati bahwa personel SI Merah keluar dari SI. Mantan personel SI Merah kemudian bersama ISDV berganti nama menjadi PKI.
Kehancuran PKI fase awal bermula dengan adanya Persetujuan Prambanan yang memutuskan akan ada pemberontakan besar-besaran di seluruh Hindia Belanda. Tan Malaka yang tidak setuju karena Komunisme di Indonesia kurang kuat mencoba menghentikan, namun para tokoh PKI lainnya tidak menggubris usulan tersebut, kecuali mereka yang ada di pihak Tan Malaka. Pemberontakan terjadi pada tahun 1926-1927 yang berakhir dengan kekalahan PKI. Para tokoh PKI menyalahkan Tan Malaka atas kegagalan tersebut, karena telah mencoba menghentikan pemberontakan dan memengaruhi cabang-cabang PKI.
Era perang kemerdekaan[sunting | sunting sumber]
Gerakan PKI bangkit kembali pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia, diawali oleh kedatangan Muso secara misterius dari Uni Soviet ke Negara Republik (Saat itu masih beribu kota di Yogyakarta). Sama seperti Soekarno dan tokoh pergerakan lain, Muso berpidato dengan lantang di Yogyakarta dengan pandangannya yang murni Komunisme. Di Yogyakarta, Muso juga mendidik calon-calon pemimpin PKI seperti D.N. Aidit.
Muso dan pendukungnya kemudian menuju ke Madiun, di sana ia dikabarkan mendirikan Negara Indonesia sendiri yang berhalauan komunis. Gerakan ini didukung oleh salah satu menteri Soekarno, Amir Syarifuddin. Divisi Siliwangi akhirnya maju dan mengakhiri pemberontakan Muso ini.[8]
Era pascaperang kemerdekaan RI[sunting | sunting sumber]
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia tersebut, PKI menyusun kekuatannya kembali. Didukung oleh Soekarno yang ingin menyatukan semua aspek masyarakat Indonesia saat itu, di mana antar ideologi menjadi musuh masing-masing, PKI menjadi salah satu kekuatan baru dalam politik Indonesia. Ketegangan itu tidak hanya terjadi di tingkat atas saja, melainkan juga di tingkat bawah di mana tingkat ketegangan banyak terjadi antara tuan tanah dan para buruh tani.[9]
Soekarno sendiri yang cenderung ke kiri, lebih dekat kepada PKI. Terutama setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, politik luar negeri Indonesia semakin condong ke Blok Timur (Blok Komunis Uni Soviet). Indonesia lebih banyak melakukan kerja sama dengan negara komunis seperti Uni Soviet, Kamboja, Vietnam, RRT, maupun Korea Utara. Beberapa langkah-langkah politik luar negeri yang dianggap ke kiri-kirian itu antara lain:
- Presiden Soekarno menyampaikan pandangan politik dunia yang berlawanan dengan barat, yaitu OLDEFO (Old Established Forces) dan NEFO (New Emerging Forces)
- Indonesia membentuk Poros Jakarta-Peking dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang yang membuat Indonesia terkesan ada di pihak Blok Timur
- Konfrontasi dengan Malaysia yang berujung dengan keluarnya Indonesia dari PBB.
Di sisi lain, konflik dalam negeri semakin memanas dikarenakan krisis moneter, selain itu juga terdengar desas-desus bahwa PKI dan militer yang bermusuhan akan melakukan kudeta. Militer mencurigai PKI karena mengusulkan Angkatan Kelima (setelah AURI, ALRI, ADRI dan Kepolisian), sementara PKI mencurigai TNI hendak melakukan kudeta atas Presiden Soekarno yang sedang sakit, tepat saat ulang tahun TNI. Kecurigaan satu dengan yang lain tersebut kemudian dipercaya menjadi sebab insiden yang dikenal sebagai Gerakan 30 September, namun beberapa ilmuwan menduga, bahwa ini sebenarnya hanyalah konflik intern militer waktu itu.[10]
Pasca Gerakan 30 September, terjadi pengambinghitaman kepada orang-orang komunis oleh pemerintah Orde Baru. Terjadi "pembersihan" besar-besaran atas warga dan anggota keluarga yang dituduh komunis meskipun belum tentu kebenarannya. Diperkirakan antara limaratus ribu sampai duajuta jiwa meninggal di Jawa dan Bali setelah peristiwa Gerakan 30 September, para "tertuduh komunis" ini yang ditangkap kebanyakan dieksekusi tanpa proses pengadilan. Sementara bagi "para tertuduh komunis" yang tetap hidup, setelah selesai masa hukuman, baik di Pulau Buru atau di penjara, tetap diawasi dan dibatasi ruang geraknya dengan penamaan Eks Tapol.[11]
Era pascareformasi[sunting | sunting sumber]
Semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, aktivitas kelompok-kelompok sosialis, marxis, dan haluan kiri lainnya, secara hukum masih dilarang oleh pemerintahan, dan komunisme sendiri termasuk dalam paham terlarang sebagaimana dijelaskan dalam TAP MPRS.
Perkembangan komunisme pasca-Uni Soviet[sunting | sunting sumber]
Banyak orang yang mengira komunisme "mati" setelah Revolusi 1989 yang berakhir pada bubarnya Uni Soviet dua tahun kemudian, yang diawali dengan keputusan Presiden Mikhail Gorbachev. Namun demikian, setelah runtuhnya Uni Soviet dan pecahnya Yugoslavia, terdapat beberapa negara yang masih dipimpin oleh pemerintahan Marxis-Leninis dengan partai tunggal. Di antaranya adalah Kuba, Laos, Vietnam, dan Republik Rakyat Tiongkok. Korea Utara menyebut ideologinya sebagai Juche, yang mereka anggap sebagai perkembangan dari Marxisme-Leninisme. Meskipun demikian, Tiongkok[12], Laos[13], Vietnam[14], dan Kuba telah mengubah sistem ekonominya dari menjadi lebih terbuka. Di India, komunis memimpin pemerintahan di tiga negara bagian. Sementara di Nepal, partai komunis menjadi mayoritas di parlemen.[15]
Tulisannya sangat menginspirasi untuk penulisan teks khutbah jumat tentang komunis
ReplyDelete